Rabu, 17 Agustus 2011

Puisi Mu`min


Kumpulan Puisi
ALIR
Abil Pena
1 ALIR
DAFTAR ISI
1. LIMA WAKTU 3
2. LAYANG MELAYANG 6
3. BENCANA TIGA ARAH 8
4. MANUSIA MAHASISWA. 9
5. KISAH SEORANG ARANG 11
6. KAKEK TUA ITU 13
7. SAHABAT ATAU KARAT 14
8. KISAH CINTA LANGIT DAN BUMI 15
9. RERAKIT TULANG RUSUK KITA 17
10. BALADA GANG BINAL 18
11. BALADA PANTAI BINAL 19
12. SATU ALIR 21
13. DUA ALIR 22
14. TIGA ALIR 23
15. EMPAT ALIR 24
16. LIMA ALIR 25
17. BERKUMPUL DI UNGGUN 26
18. MENGAPA ABU-ABU 27
19. BIRU RUPA PARU 28
20. MEJA HIJAU 29
21. INI MERAH? 30
22. MALAM HITAM 31
23.. PUISI BOTOL BIRU 32
24. GERTAK KATA 33
25. PUISI 34
26. JEJAK TELAPAK PARA TERKAPAK 35
27. EDELWEIS PINGGIR JALAN 36
28. KUBUR 1 37
29. KUBUR 2 38
30. KUBUR 3 39
31. KUBUR 4 40
32. SURAT DARI SUARA RANTAU 41
33. PESAN UNTUK TIGA KOTA 42
34. LUKISAN EMBUN 43
35. KURUNG 44
2 ALIR
LIMA WAKTU
1

Azan subuh membuka tirai malam
Membangunkan si pemenang
Dari tidur lelap
Dalam ruang gelap
Aku pemenang, dari jutaan sperma
Aku pemenang, yang dahulu menyentuh telur mama
dan aku pemenang, berhak hadiah tidur sembilan bulan lama
di kamar rahim mama
Gelap pandang
Hanya terbesit senyum meradang
Tingkah polah suara
Menyusup telinga dara
Terjeritlah tangis mula
“Aku tak mengerti bahasa para.”

2
Pagi mulai menarik paksa bola langit
Dari peraduan istirahat pojok sempit
Tersembul di sela pohon tergapit
Aku juga mulai keluar sarang
Membentuk kelompok teman
Menerbangkan debu, batu, dan bata
Sembunyi di antara selubuk rumah
Lari di antara gerumul insan

3 ALIR
Tawa kita mengalihkan mata
Lincah memanggil bahagia
Oceh renyah menabur bumbu jiwa
Dan, lelah menjadi pertanda
Pisah antara kumpul kepal canda
3
Siang menghujam selubung
Matahari tepat menyorot ubun
Terserap panas amat ranum
Aku menyangklong tas ransel lusuh
Di derit ramai lalu
Sibuk mencari peluh
Tetes demi tetes menyiram dahi
terdesak ilmu didik kian mengisi
penuh menggumpal di pikir
Dari buku, alam, dan papan tulis

4
Sore menjemput si bintang merah
Lari dari atap bulu domba penuh darah
Pelan membujuk
Tandas menunjuk
Aku terkurung di jejal jalan
Penat menyusup ke besi bernyawa
Menunggu waktu berhenti berkata
Pandang wajah istri anak
Terpampang jelas di kaca depan
4 ALIR
Senyum bangkit terkembang
“Aku pulang membawa setangkup rindu kalian.”

5
Malam menerjang dunia
Ribuan bintang merayap ria
Bulan terkekeh-kekeh
melihat kelap kelip
Hias dinding pekat
Aku dini berkaki tiga
Selongsong tubuh sedikit longsor dari raga
Tertunduk tatih kala kaki menginjak ranah.
Tatap ratap foto keluarga masa dulu
Istri telah tidur di bawah kubur
Anak berpinak kanak
Lenyap kemana berpijak
Ranjang kini kudapuk
Kurapat mampat penglihat
hingga aku berpindah
entah ini alam apa.
November 2010

5 ALIR
LAYANG MELAYANG
Bujur sangkar terbingkai
asap padu biru mekar
Ekor menjalar
Tertambat kaleng tukar
Pisau rela jadi jiwa
Iris kacau angin penghalang
Tebas malang
Meliuk liuk dibuai angin
Menari nari ditarik dingin
Datanglah layang lain
Besar busur sangkarnya
Kuat bambunya
Tajam perangainya
Dan, melukislah mereka
di atas kain awan
Kejar dikejar,
tangkap ditangkap,
peluk dipeluk,
Terbelit kelit tentang mereka
di lapang banyak yang berdentang
Mengangkat pedang siapa yang terkulai
Angin adalah kebesaran mereka
Berhak menahan
Berhak menjatuhkan
Layang kecil digenggam menang
Layang besar dilepas pantas

6 ALIR
Tapi, layang besar kasar
Dihunus ekor layang kecil
Layang kecil melayang kalang
dan, entah tangan angin menampar kemana
Pemuda tak diam
Jari telunjuk menunjuk kejut
Kaki sibuk berjingkat katak
Menurut apa mau dikata mata
Diinjak batu tajam
Diterobos semak taman
Dipanjat pohon mangga halaman
Melambai layang itu
Tertarik angin waktu
Entah jatuh ke tangan siapa
Layang kecil itu
Pemuda diam kaki
Nafas kini berlari
Mata tetap awasi
Kemana layang itu pergi
Biarkan bayangnya yang gelap
Bisa didekap rapat
Di sela dada pemuda
Haus hambar akan layang periang
30.10.10

7 ALIR
BENCANA TIGA ARAH
Bumi muak dengan penghuni
mual perutnya
Hingga muntah
Menyembur kabur
Tenggelamlah durja kami
Laut rusak
dia beriak di dalam
Menggelinjang sampai ke kulit
Laut tumpahkan isi dalam
Menuju pigora pantai
Tenggelamlah kanvas kami
Langit kalap
dia peras bulu domba sekeras-kerasnya
Sarinya mulai menyusuri
Terjang terkapar di ranah
Tenggelamlah tanah kami
Oktober 2010

8 ALIR
MANUSIA MAHASISWA
Kami membuntuti langkah kalian
Di tiap jadwal mengganjal
Di tiap kebosanan massal
Hingga lelap menggelapkan raga
Kami membuat langkah sendiri
Berdiri berlari di atas ari-ari bayi
Walau, antara kami membuat langkah tengah
Mengarah depan enggan
Tertarik jarik masa lalu
Terpasung malu
Kami adalah para pembeli deadline
Saat esok terseok
Jarum penebas waktu
Membunuh tumpukan kertas tegas
Tertusuk paksa raksa
Dan, kami bakar kerta-kertas ini
Jika tak henti kau mencaci
Tanpa puji
Tanpa pasti
Kami ini penyuara rakyat
Tapi, mengapa saat kau bertanya
Lidah terasa terpotong
Tak ada sepotong kata makna
Entah kami lemah di deretan kursi
Atau entah di deretan depan berdiri
Dan, saat kau berkata
Kau menohok telinga dan hati kami

9 ALIR
Terselip diam-diam sakit terjangkit
Entah kami lemah di deretan kursi
Atau entah di deretan depan berdiri
Kami ini manusia
Tapi mengapa kesempurnaan kau junjung mancung
Di bawah ranah cela
Hingga kami bergidik jongkok
Di tumpukan aturan peran
Kami adalah pembebas doktrin
Terlepas dari denahmu
Seolah kami selalu kerbau
Terseret hidung kami
Kemana kau menariknya
Kami membawa surat pesan dari alam
Tergenggam erat di tangan keputusan
Kami angkat genggam ini tinggi ke udara
Mencabik-cabik permukaan bulu domba itu
Agar semua orang tahu
"Dunia dalam genggamanmu." isi pesan itu.
Oktober 2010

10 ALIR
KISAH SEORANG ARANG
Bunga garis jalan
Tunduk khidmat menyesali pagi
Tega menahan senyum ranum
Pada para arang tanpa sarang
Putih kaos oblong
Menempel tubuh lusuh
Terus mendekap perut
Hati termenung kerut
Tak sebutir nasi mampu direnggut
Atapku adalah gelap berlampu bintang
Kadang pula beratap jembatan layang
Alasku adalah coklat tersebar batu kasar
Kadang pula beralas trotoar
Dindingku adalah udara malas
Kadang pula berdinding seng dan kardus bekas
Aku adalah arang
Hasil dari pertemuan api bayang dan kayu batang
Mencipratkan abu kesakitan
Di sudut-sudut kegamangan
Aku ingin benar-benar jadi arang
Saat daging telentang
Mulai permainan waktu menjadikannya matang
Tapi,aku hanya arang
Tergeletak duduk dan berdiri
Di deret besi bernyawa

11 ALIR
Diseret detik tiang bermata tiga
Tubuhku remuk tak isi
Walau tanganku kuat bagai besi
Aku tetap mendera iba
Sampai malaikat menjalankan mandat
Atau sampai Tuhan membalik pahatan tangan
Oktober 2010
12 ALIR
KAKEK TUA ITU
Kakek tua itu
Duduk meronce mata
Bilas dengan orang lalang
Kakek tua itu
Mengaung gaung
Bukan panas atau ranggas
Namun menanti sekoin padas
Kakek tua itu
Berselimut pembalut
Di kedua penopang dendang
Meraup-raup di derung kapas hitam
Di dentung ganas macam
Kakek tua itu
Mulai mencabut daftar absen
Dari deru paru radang aspal
Ke gubuk remuk
Di pojok sempit para gemuruh
Kakek tua itu
Kaya umur
Tapi dimanakah ilmu?
20.11.10

13 ALIR
SAHABAT ATAU KARAT
Jejak ringkuk napak kikuk
Tetap kita peluk dalam kerut
Lari rintih terjang sabana
Tetap kita tatih dalam pati
Hujan asam akankah hancurkan?
Kokohnya besi kita
Salju putih akankah dinginkan?
Panasnya rasi kita
Terik mentari akankah keringkan?
Lembabnya tali kita
Kita telah rangkai besi ini,
Dengan roh basi dan roh wangi
Apakah kita tergeletak besi dalam karat?
Kita adalah kumpulan runtut cerita
Sekumpulan suka luka
Sekumpulan para mata
Sekumpulan menjadi seikat sahabat, tali hebat
Bukan untuk sekerat karat, seberat tamak.
21.11.10

14 ALIR
KISAH CINTA LANGIT DAN BUMI
Langit tersenyum manis ke bumi
Wajah pasrah mengikat erat kapas
Tatapan mata kuning bening menghujam hantam
hingga kulit mengelupas lepas, panas
Langit kini mencium bibir bumi
Hembusan pesan hendak tersampaikan
Walau hanya terkulai mulai
Langit kini menyetubuhi bumi
Angin mendesak gigil
Keras mendekap
Remuk redam tulang sejengkal
Bumi kini diam dalam sekam
Bersembunyi balik seonggok daun kisut
Dan, sepi tak bisa menepi
Langit kini marah semerah darah
Telah kalah
Tak upaya bercengkrama oleh tanah
Langit kini kalang kabut, tak pernah bisa melembut
"Aku mencabikmu dengan cemetiku."kata langit menggelegar
Bumi kini beringsut kusut
Langit melongo kosong melompong
Dan, langit menebar tangis meringis
"aku telah dicampak bumi."kata langit

15 ALIR
Bumi kini sunyi, lelap
Menikmati tiap ratap sang handuk basah
Meminum diam derai tangis, lembut sampai mengisi perut
Jauh ke urat-urat kulit kehidupan
"aku mencintaimu."kata bumi.
Oktober 2010

16 ALIR
RERAKIT TULANG RUSUK KITA
Gulungan jam melenguh ke batasnya
Hingga membentur empat bola mata
Menjelang pelan
Gendering ditabuh
Begitu jantung dan hati kita berlabuh
Kita adalah pecahan puzzle yang berserak marak di mana-mana
Menyatu menjadi sebuah mozaik terindah berpendar
Kita adalah tulang rusuk paruh
Merela kita merakit tulang sepasang
Menyatu menjadi sebuah pondasi terkuat
Dan, kita bergandeng tangan untuk,
Merenda cerita baru di tirai rumah
Mengecat kisah baru di dinding rumah
Dan, menyulam hidup baru di pekarang rumah.
02.12.10

17 ALIR
BALADA GANG BINAL
Ramai membuncah
Di gang sempit itu
Terasa menjepit
Dua pandang dan dua lubang kehidupan
Berderet akuarium
Mengundang para pria mengulas senyum
Bersolek molek di dalamnya
Tak ingin cacat di lepas penat
Terombang ambinglah harga tangkap
Demi sebuah rasa nikmat
Di kamar sekat bersarat
Teriakan pengeras suara
Kaburkan gerak nafas desah
Tatkala dua raga terikat rekat
Menterjemah gerai hasrat
Bulan merenung penuh
Melihat gang itu mulai menegang
Dan,bibir tabir berkata"Itu aset negara,tapi sangat merusak raga penggema jiwa"
Oktober 2010

18 ALIR
BALADA PANTAI BINAL
Malam menampar siang
Terlempar jauh di atas tebing karang
Bulan malah bergurau dengan bintang
Menantang
Sepoi menyisir rambut kaca
Halus mengelus
Membungkus keramaian kota dalam-dalam
Gazebo berbaris di pesisir
Melintas pandang ke batas
Menunggu para sesinggah yang pantas
Dipasang lampu hitam
Membujuk sepasang insan
Datanglah, begitu ucapnya
Para penghuni bakau tertawa
Meneriaki elegi rawa pangkal kaki
"Mengapa bibir ini selalu kau jadikan tempat bertemunya bibir?"
Ini panas apa dingin?
Syahwat makin mengeras
Menyelimuti rapi dingin teras
Lengungnya mendengung
Tersapu teriakan angin, hanyut
Tetap menghadap nikmat
Kiblat setan menawan sawan
Nafsu kian tergebu
19 ALIR
Dan debu pun tak sanggup mengadu.
Oktober 2010

20 ALIR
SATU ALIR
Kau duduk tunduk
Kosong hambar menyambar
Merangsek pelan
Menembus gabus selubung kepala
Dan, diam melayang
Merampas senang
Sumber mata berdenyut-denyut
Ingin muntah
Segera bentuk membelah
Alur sungai
Antara hidung dan pipi
Menuju muara dera
Hingga lidah keracunan
Tak sanggup menari di peraduan
“Aku hancur !”
14.11.10

21 ALIR
DUA ALIR
Apakah kau mengiris bawang?
Terlihat jelas bola kaca mulai menggenang
Dibias serbuan jarum bening dari langit atap
Dan, aku manatap ratap
Mengapa dering genting tak jua mengering?
Menutup keras kencang para lancang
Kau bisu.
Tidak !
Kalbu telah rusuh.
Oktober 2010
22 ALIR
TIGA ALIR
Apa yang kau bawa?
Di sela pertempuran besi dan aspal
Apa dewi kesenian merasukimu?
Hingga tak bisa hilang
Seulas senyum jalanan
Langit mulai bergejolak
Marah, peras awan
Tetes mencium tubuh kawan
Dan, dingin kini rawan
“Aku harus pulang !”
Kaki kaku terserak perut semu
Derai keringat menghangat
Bertemu saudara lama dari langit
Tangit pun bias daya
Entah tangis hati
Entah tangis mata
14.11.10
23 ALIR
EMPAT ALIR
Kau kini berdiri
Mematung katung
Sebuah bambu runcing terkancing tangan
Sebuah golok teronggok selip di punggung
Sekali lagi, hujan turun meramaikan
Pasukan air dikerahkan
Begitu seperti tirai bening
Merajam semua kening
“Aku lebih baik mati daripada hancur semua ini !”
Langkah maju serbu
Bambu diserong tuju
Libas semua kandas
Peluh meyeluruh
Menguap begitu saja
Tergerus hujan sana
“Dadaku telah bersarang peluru !”
Merah kental menyiprat
Sentuh jarum langit
Dan, tanggul air mata
Hancur seketika
“Kita akan menang. “
14.11.10
24 ALIR
LIMA ALIR
Kantung bola sembab
Bekas tumpahan tetes sebab
Menanggal ke perbatasan muara gara
Tajam itu menghunus pelepah
Tersembur carut keraungan
Lemas memluk luka
Panas !
Mendidihlah selungsung lusuh ini
Mengalir menyusur di lembah terasing
Henti entah di mana
Dingin !
Menghapus basah diri perih
Dari ratapan kain langit
Terjuntai gontai tirai air
Meuju lekuk sepampang papan
Mengalir !
Semua kelima alir bersua dalam
Kehirukpikukan tawar
Saling menyabut
Walau kini pesendu telah terenggut.
20.11.10
25 ALIR
BERKUMPUL DI UNGGUN
Duduk gerumbul
Melingkar unggun terhadap di hadap tengah
Termangu ke alam arah
Kepastian yang dipertaruhkan
Kami sekumpulan pengadu nasib
Dengan bagai tugas tegas
Esok kami terseok
Dan, tinggal jarum berputar
Kami tetap tertawa
Kala tak bisa berkata apa
Hingga senja berlari tiba
Unggun ini menghangat rapat
Tapi bukanlah apai
Unggun ini penerobos zaman
Terus dengan teknologi imaji
Unggun tetap teronggok
Saat pikiran tak mampu jadi mangkok
Terus, begitu menggerus waktu
Hingga tangan melambai
Pisahkan kumpulan terkulai
"ku tunggu besok nantinya tugas kita jadi apa."
November 2010
26 ALIR
MENGAPA ABU-ABU
Mengapa abu-abu?
Harus tercipta antara hitam dan putih
Membias mana baik mana raib
Mengapa harus abu-abu?
Menodai seragam SMA
Kala mata raga nyawa
Buram apa daya
Untuk apa abu-abu?
Yang berkorban lumpuh
Ketika api mencium kayu
Jabur bercampur debu
Dan mengapa abu-abu?
Begitu tabu
Tatkala tagu menyerbu
Siapakah abu-abu?
Bersembunyi di gelak tawa
Sedih tak terhamba
7.11.10
27 ALIR
BIRU RUPA PARU
Kanvas terlepas pontai
Menindas biru terpadu
Bercak putih menuduh
Kaps dan bulu seakan jadi dadu
Terkapas permainan
Tampar musim peluh
Kanvas tetumbang gentang
Merampas biru tersedu
Buih sauh mengadu
Percik dan percak telah jadi tandu
Memutar gelinting
Papan peradu
Dua kanvas kini bersua
Di pojok gubuk mentari dan bulan bercanda
Merancau siapa berjaga
Terhimpit biru rupa
Seserah para paru
Siapakah perantau kelu?
19.11.10
28 ALIR
MEJA HIJAU
Rumput bergoyang
Ditiup dendang
Ingin menusuk rusuk
Lemah tangan rumput rata tanah
Mengapa warna meja itu hijau ?
Bukankah itu warnaku, warna damai?
Ganti saja, dengan hitam
Sebagai kelamnya kejujuran
Atau ganti saja, dengan abu-abu
Sebagai pekatnya kebingungan
Atau ganti saja, dengan merah
Sebgai panasnya kebenaran
Asal, jangan ganti dengan putih
Karena putih untuk meja Tuhan
Tanpa kebusukan, tanpa kebohongan
Begitu rumput berorasi
Bergerak hentak
Ikuti lajur angin
Dan, akan diam
Jika meja itu diganti warna
Yang lebih pantas !
8.11.10
29 ALIR
INI MERAH?
Apakah merah itu?
Apakah merah itu merah?
Hasil perkawinan benci emosi
Merah tak selalu darah
Mengarak keluar selapis parah
Dan, sakit menahan nanah
Tusuk semangka !
Makan darahnya !
Manis bukan !
Lihat senja !
Merahnya menebar awan
Indah merenda biru dan merah
Dan, sekejap hilang
Dibungkus hitam
Lalu, merah itu kemana?
12.11.10
30 ALIR
MALAM HITAM
Pagi meringkik
Siang melayang
Malam kian belang
Lampu-lampu menyala ganti peran mentari
Tak lupa lampu hitam di sela malam
Suara decak denguh merayu
Hinggap merayap mengajak
Tak selalu bagi beberapa
Mata meyorot
Sajadah meradang
Tangan menegadah
Mulut sibuk berbusa
Malam begitu hitam
Tapi, masih adakah
Cahaya walau hanya temaram?
12.11.10
31 ALIR
PUISI BOTOL BIRU
Untuk Syaifudin
Angin berarak bersama debu
Masuk ke mulut botol
Meyusup di gelapnya biru
“Aku tak melihat isinya.”
Dipicingkan mata, tuju mulut botol biru
Angin tertarik ke gerombolnya
Bersama dengan tentara debu
“Ini botol kosong, tapi tak ada yang yang memiliki botol ini.”
“Tapi, aku, tapi, aku “
14.11.10
32 ALIR
GERTAK KATA
Hymne angin menghujam seimbang
Terkurung di pusara perantah
Notah lanskap membutakan jendela pandang
Tersarang di sangkar pemanah
Keras, godam menghantam ubun-ubun,
Tak jelas bentuk culas
Tanga diikat semampai rotan
Tak pelak belikat
Akar menyerbu kaki gontai
Menyeret jauh ke pusat kasat
Alam menggertak galak,
Hanya bisa melenggang cantik atau membusung busuk
Alam tak berkata, hanya menggertak
Ingin kisahnya dipatri oleh penyair
Hingga alam nanti pasti mati.
23.11.10
33 ALIR
PUISI
Merangkai baitu-bait puisi
Seperti berenang di pusara angin
Hembusnya menjerat berbagai aroma manuisa
Kapankah puisi itu basi?
Apakah ketika puisi terpahat di ucap,
Hanya untuk membelai tengkuk para hawa?
Kapankah puisi itu wangi?
Apakah ketika puisi terkecap
Untuk emnghancurkan hegemoni para keji?
Puisi, engkau jangan mengigau
Engkau bukan ayat Tuhan, mendogma akal insan
Engkau pula bukan peraturan pemerintah
Penjarakan kebebasan ekspresi
Di jalur dewa kesenian
Puisi . . .
Para penyair rela menggaruk-garuk kata di serpihan rumah, di tepi jalan, di sela meja sidang, di
dera kematian, di parah cacian, di menawan alam, hanya untuk menghiasmu.
Itu kata, ada di koran-koran politik, buku undang-undang, tapi hanya sebatas kata, serantas
makna.
Puisi . . .
Sengaja kurajut berbuih kata hanya untuk mengangkat jiwamu menuju surga tempat jutaan
temanmu di atas sana.
28.11.10
34 ALIR
JEJAK TELAPAK PARA TERKAPAK
Tepak katak menapak lapak kalah telah di telapak kaum perawak lemak.
Pekat saat gegap melahap tuak di gubuk penuh sekat.
Terang saat ganggang menyerang gelap sarang, singkap terungkap sedikit busuk di dasi yang
terselip di leher pamer
Hilang, parang merah perintah dari atasan garang, memberantas rantas para tandas terkapar tanah
kala gembala juga teriak galak lapar hambar.
25.11.10
35 ALIR
EDELWEIS PINGGIR JALAN
Setangkup edelweis pinggir jalan
Meneguk segumpal asap aspal
Tangan mencakar-cakar ke udara
Mencoba bunuh kekacauan dera
Ah, mengapa edelweis di setapak Mahameru berkelakar di jalan para jalang?
Tak pantaskah?
Tak sanggupkah?
Untuk sekuntum edelweis pun mengikis kebusukan roda-roda pagoda?
Mengapa harus kita tapaki punggung Semeru hanya untuk segerumbul, sekuntum, atau bahkan
sesampah edelweis ?
Mata, mawar, rindu, warna kulit, bahasa, dan gestur penutur lembut cukup, dan telah selesai
merangkai setaman edelweis di bumi pencakar langit, yang kini berselimut genggam mengait
sosok terperosok jauh tepat di tengah.
Di hati.
26.11.10
36 ALIR
KUBUR 1
Gagak menari di atas awan
Hitam pekat rekat
Tak lupa nyanyian untuk tuan
Keras seok-seok
Tebas tepi telak
Nafas menyendat hembas
Setarik udara telah terampas
Tak ada lagi hembus
Tak ada lagi dengus
Hanya ada kabung tirus
Beras seangkat ibu
Duyun terhuyung
Masuk tumah gelak duka
Sesenggukan lagu penyambut
Dan air mata beserta ingus adalah perjamuan
Doa menjadi melodi parodi hari itu
Gelar baru terpatri depan nama
Almarhum
29.11.10
37 ALIR
KUBUR 2
Jasad kini melesat depan
Tak peduli dulu terhina atau terdaya
Tetap dijunjung agung
Beberapa pundak wajah
Mengekor panjang
Berselendang lengang
Berakhir getir
Perjalanan peran
Di lapang deduka
30.11.10
38 ALIR
KUBUR 3
Mulut bumi menganga lebar
Bersabar dengan bibir tawar
Lapar ingin menyayat mayat
Dilempar begitu saja mangsa
Persembahan dahan gemaring
Tertutup putih gulungan kafan dan kapas
Lidah menjulur sulur
Lahap kalap bumi menelan
Sampai pipi tepi menggelembung
Sisakan taring di sisi kanan kiri
Terselip toreh jelas siapa termakan,
Kapan menakar tangis pertama kali,
Dan kapan terkapar oleh tangis lingkaran kisah.
30.11.10
39 ALIR
KUBUR 4
Aroma kematian
Dilindas air wangi dan bunga sejumput
Di atas ranjang peraduan
Begitu busung langkah berderap
Gelimang senang dan menang terkepal
Begitu busuk jasad meresap
Diinjak tarian puluhan kaki
Hanya tanah menyerapah
Menyumbat arus tangis
Merapatkan sebuah dendang kesunyian
Untuk peratap sepenggal anggota
03.12.10
40 ALIR
SURAT DARI SUARA RANTAU
Suara jauh diterbang ambingkan fana
Mendesak ingin segera didengar
Ah, suara siapa ini?
Tipis tapi bising
Meramaikan dalam sunyi
Percik air sungai dan hujan dipecah belah oleh suara itu
Tersamar pelan siapa
Di genggam foto tergambar
Jauh, entah jauh wangi dia memejam hidung
Ah, kapan seekor merpati menggebas di jendela kamar?
Mencengkeram deretan noda di kertas perkamen
Apakah hujan telah menutup sarangmu, merpati?
Erat sekali dulu merangkul kini
Jelas tapak kaki dan belai tanganmu
Jelas kau sedang merantau
Entah kapan kembali nanti
27.11.10
41 ALIR
PESAN UNTUK TIGA KOTA
Derung denting melesat di selat
Rumah tepi
Desaknya mendengung terikat kalung
Paduan antar gelintir satir
Beratus gedung gagah merantak
Setiap sudut warna
Surabaya, entah siang, entah malam
Begitu ku pertama kali mencium udara bumi
Hingga kini kembali ke dirimu
Kokok ayam beradu
Dengan siul burung
Hijau sawah mencoba menerjemahkan
Sungai membelai gurauan gersang
Ratusan candi bersembuyi dari konon kini
Mojokerto, entah siang, entah malam
Begitu ku bersinggah sepuluh tahun
Hingga kini kau tetap tempat singgahku
Lisan seperti berputar
Anggun melontar peraduan
Berkumpul wakil segenap peradab
Berpuluh bahasa merancau sesama
Pare, entah siang, entah malam
Begitu ku rantau enam bulan
Hingga kini kau tetap menunjam desah rinduku.
29.11.10
42 ALIR
LUKISAN EMBUN
Embun bergegas turun
Melukis wajah di pagi hari
Basah resah wajah
Menapak depan dengan hendak
Beribu wajah
Melingkar di setumpuk mimpi
Gelintir wajah
Tegak menembus embun rabun
Berjudi di pagi buta
Aku pertaruhkan tubuhku dilantakkan dingin,
hanya demi kompor teranjak panas.
Mojokerto, 4.12.10
43 ALIR
KURUNG
Sekerjap timbunan biru mengernyit, ketiaknya bau, menyembul asap-asap mencoba beradu
dengan pintalan kapas.
Ah, aku terpatri di separuh detik. Sepenggal pandang tak mau pisah dari anyaman pualam.
Seketika, rumput mulai berkuasa. Kuat. Erat. Menahan getah pemanis ini. Beribu kata berlari
pulas yang meawakili kaki.
Henyak. Sepasang sayap berbalet ria di rancau hijau. Meraup gula-gula yang berterbangan. Aku
merasa terkurung. Trak untuk berkabung. Mencoba untuk bergabung. Dan, hanya gaung-gaung
meraung, menggenggam segumpal periang.
7.12.10
abil pena, dengan nama asli abu wafa, aktif di FLP, dan sekarang masih berkuliah di sastra
Indonesia Unesa. Tinggal di Surabaya dan Mojokerto. Baru pertama menulis puisi. Semoga
puisi-puisi tersebut awal dari kebangkitan. Amien.
44 ALIR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar